London - Dua belas tahun silam, tahun
2001, kami sekeluarga berkunjung ke Swansea, Barat Laut Wales. Kota yang
sangat nyaman, indah dan sangat bersahabat. Tidak terlalu besar dan
tidak terlalu kecil. Tujuan kami sebenarnya adalah Mumbles, sebuah
daerah kecil di ujung selatan Teluk Swansea. Kami ingin napak tilas
tempat hidup salah seorang penyair terkenal dari Inggris Raya, Dylan
Thomas.
Sudah menjadi kebiasaan kami sekeluarga, karena kami
semua penggemar bola, untuk setiap kali singgah di sebuah kota di
Inggris Raya juga mengunjungi stadion sepakbola kota tersebut. Kalau ada
dan layak dikunjungi tentunya.
Stadion klub sepakbola Swansea
City FC sebenarnya tidak cukup layak untuk dikunjungi. Bukan untuk
mengecilartikan klub ini. Vetch Field hanya berkapasitas untuk 11 ribuan
penonton, agak terbengkelai dan layaknya puluhan klub serupa yang
bertebaran di Inggris Raya, Swansea bagian dari penggembira sejarah
panjang sepakbola di Inggris Raya. Swansea, walau secara geografis
bagian dari Wales -- karenanya sebenarnya negara yang berbeda dari
Inggris -- juga terpuruk di papan paling bawah dari divisi terendah liga
profesional Inggris. Ancamannya saat itu Swansea akan terlempar dari
liga profesional ke liga semi profesional.
Belum lagi, tidak
seperti klub-klub besar di Inggris, saat itu tidak ada layanan tur
stadion. Lha apa yang mau dipamerkan? Stadion "tidak istimewa", tidak
ada piala untuk dipamerkan, tidak ada "sejarah luar biasa"’, toko
cindera matanya kecil sekali dan hanya buka di hari pertandingan. Kalau
kami kemudian berkunjung, itu hanya karena waktu itu ada jam lowong dan
stadion hanya lima menit berjalan kaki dari tempat kami menginap.
Karena
tidak ada layanan tur, kami hanya berjalan mengitari stadion. Tidak
jauh berbeda dengan stadion sepakbola lain di Inggris, Vetch Field
dikelilingi oleh perumahan penduduk. Saya samar-samar ingat, tempat
masuk khusus pemain, ofisial maupun kalangan VIP ke stadion adalah gang
sempit ukuran dua setengah meter di antara deretan rumah penduduk.
Beberapa pegawai yang mengurusi stadion menatap kami dengan heran.
Mungkin mereka berpikir,
kok ya ada wajah asing seperti kami
tertarik dengan stadion mereka. Saya sempat menanyakan apakah kami bisa
masuk ke stadion untuk melihat kedalam. Mereka mengatakan harus meminta
izin terlebih dahulu dengan atasan mereka. Walau mereka sangat ramah,
tapi kami merasa terlalu menganggu sehingga memutuskan untuk
membatalkannya.
Sejak peristiwa hampir 12 tahun silam itu, kita
tahu Swansea telah mengalami kemajuan layaknya mimpi. Dari titik
terbawah divisi liga profesional paling bawah mereka merangkak pelan ke
papan tengah liga puncak profesional sepakbola Inggris. Naik tiga divisi
dan sekitar 80 tangga posisi. Mereka sekarang mapan di sana. Mereka
melakukannya dengan permainan yang atraktif. Bukan sekarang saja mereka
bermain atraktif, tetapi sudah sejak hampir tujuh tahun silam ketika
Roberto Martinez mulai memegang mereka dan diteruskan oleh Paulo Sousa,
Brendan Rodgers dan kini Michael Laudrup. Sepertinya ada benang merah
yang menghubungkan keempat manajer itu.

Swansea
juga telah berpindah ke stadion Liberty yang lebih bagus. Dan setelah
menunggu 101 tahun -- klub ini berdiri tahun 1912 --, Swansea untuk
pertama kalinya memenangkan piala bergengsi, Piala Liga, setelah minggu
lalu (24/2) mengalahkan Bradford 5-0.
Yang lebih hebat lagi, klub
ini melakukan semua tanpa harus melewati suntikan dana yang berlebih
dari siapapun. Tidak pula tiba-tiba klub ini dibeli oleh orang atau
perusahaan super kaya. Tidak ada kamus "lebih besar pasak daripada
tiang" di klub ini. Padahal di tahun 2003 mereka sudah di bibir pailit
dengan utang hampir 1 juta poundsterling.
Setidaknya ada dua
faktor yang sangat membantu klub ini. Seorang direktur yang cakap dan
visioner. Juga keberuntungan, seperti halnya Newcastle United, sebagai
satu-satunya klub di sebuah kota.

Huw
Jenkins dengan dukungan pemegang saham mayoritas klub yang 20 persennya
dimiliki oleh pendukung klub dipasrahi untuk mengelola klub pada tahun
2003. Yang ada dalam benak pengusaha lokal Swansea ini adalah
memanfaatkan potensi sentimen pasar lokal dengan Swansea menjadi
satu-satunya klub di kota itu. Ia lalu mencari manajer yang dianggap
bisa memainkan sepakbola atraktif dan ikut aktif dalam transfer pemain
yang dianggap bisa memainkan ide sang manajer, tetapi tersedia dengan
harga murah. Ia juga mulai memikirkan pemindahan stadion ke yang lebih
representatif. Revolusi pun dimulai.
Jenkins menggantungkan
mimpinya setinggi langit tetapi melakukannya tidak dengan muluk-muluk.
Ia melakukannya pelan-pelan. Ia sangat sabar dan penuh kewajaran. Target
pertama adalah Swansea aman terlebih dahulu di liga profesional
Inggris. Itu saja. Setelah stabilitas tercapai barulah target meniti
tangga divisi dilakukan.
Dengan permainan yang menarik, penonton
mulai kembali bahkan bertambah memenuhi stadion. Jenkins tidak bernafsu
untuk membangun super besar. Cukup sesuai kebutuhan dan kemampuan
kantong. Dengan 20 ribu tempat duduk sudah cukup. Kini, seiring dengan
peningkatan kebutuhan, semakin banyaknya pendukung dan pemasukan dari
uang TV yang meningkat sejak terutama di Liga Utama, stadion akan
diperbesar menjadi 30 ribu tempat duduk. Produksi cindera mata dinaikkan
dan laku. Laporan keuangan terbaru untuk tahun 2011/2012 menyebut
keuntungan 14 juta poundsterling. Dan dengan kemenangan Piala Liga dan
tahun depan berkompetisi di Liga Europa, hampir dipastikan keuntungan
akan meningkat.
Swansea juga sangat setia dengan
pemain-pemainnya. Mereka tidak begitu saja membuang pemain yang telah
bersama mereka sejak di divisi bawah. Kecenderungan klub yang promosi
naik ke divisi di atas mereka adalah membuang pemain lama dan membeli
pemain baru yang dianggap lebih bagus. Beberapa pemain Swansea seperti
Garry Monk, Leon Britton, Angel Rangel sudah bersama mereka sejak di
divisi terbawah dan masih menjadi pemain utama. Mereka memasukkan
pemain-pemain baru bagus dengan harga yang sangat murah, lalu menjual
pemain yang memang ingin pindah dengan harga yang mahal. Semuanya
dilakukan dengan pelan-pelan dan penuh perhitungan.
Tak ayal
kalau Paulo Sousa, mantan manajer Swansea yang digantikan Brendan
Rodgers, menyebut Jenkins adalah tonggak utama kesuksesan Swansea. Dan
tak heran, "kalau tidak ada Huw Jenkins, klub Swansea kemungkinan kini
tinggal nama," kata seorang pendukung Swansea tak habis-habisnya
bersyukur.
Saya jadi teringat ketika waktu itu sehabis maghrib,
berdiri di pantai Mumbles dengan selimut kegelapan. Hawa laut mulai
terasa dingin. Saya mencoba menghayati salah satu puisi paling terkenal
Dylan Thomas:
Do Not Go Gentle Into That Good Night, yang saya
terjemahkan sendiri menjadi "Jangan Pasrah Kepada Malam Melenakan".
Konon sewaktu Thomas melihat ayahnya mendekati sakaratul maut ia menulis
puisi ini untuk mendorong ayahnya agar bertahan hidup. Salah satu
baitnya berbunyi:
Rage, rage against the dying of the light (Lawan, geramlah melawan api yang hendak padam). Huw Jenkins melakukannya ketika api kehidupan Swansea hendak padam.